Selasa, 10 April 2018


PILKADA SERENTAK UNTUK PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL
PRO

Konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur dengan jelas mengenai kekuasaan pemerintahan negara Indonesia khususnya mengenai sistem pemerintahannya. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan”, menjadi dasar konstitusional atas claim bahwa Indonesia menganut sistem Presidensial. Namun bila ditelusuri lebih jauh, sistem Presidensial yang dipraktekkan di Indonesia memasukkan beberapa nuansa dari sistem pemerintahan parlementer. Hal tersebut menghasilkan suatu sistem pemerintahan Presidensial yang kurang sempurna. Nuansa parlementer yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penguatan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena kewenangan membuat Undang-undang ada pada DPR hal ini menyebabkan presiden bertanggung jawab kepada rakyat melalui DPR. Selain itu, adanya koalisi antar partai politik, membuat cabinet yang disusun berdasarkan adanya koalisi dan bagi-bagi jabatan, membuat adanya nuansa parlementer dalam sistem pemerintahan presidensiil semakin terlihat dengan jelas. Pemilu serentak (concurrent elections) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. Kami membatasi arti dari pilkada serentak yang dimaksud adalah pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut.

Lalu apakah dengan pilkada serentak yang akan dilaksanakan di setiap daerah di Indonesia akan menjawab persoalan tersebut?

Iya, kami dari tim pro menyakini bahwa pilkada serentak merupakan langkah yang tepat untuk mewujudkan system presidensial terutama didaerah.

Hal ini berdasarkan pada :

1.      Pilkada serentak akan meminimalisir peran koalisi partai politik untuk pemusatan kekuasaan.
Adanya system multipartai meyebabkan Koalisi politik akan menguat dan sulit dihindari. Akibatnya, pembentukan kabinet pemerintahan yang semestinya menjadi wilayah prerogatif kepala pemerintahan cenderung tergerus oleh intervensi politik dari partai-partai yang ikut dalam konstestasi.  Padahal, koalisi itu sesungguhnya ada di dalam sistem parlementer. Kondisi ini pernah terjadi di Indonesia yang menyebabkan Presiden Yudhoyono tidak leluasa untuk membuat keputusannya sendiri. Itu dapat dilihat dari kemunculan sekretariat gabungan (setgab) yang justru menyandera Presiden sebagai ketua setgab. 
Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif  presiden. Namun, teori dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogratif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. 
Dengan adanya pilkada yang diadakan serentak akan mengurangi kompromi yang terjadi kecenderungan kompromi dapat ditekan karena diantara para calon yang nantinya terpilih Di lembaga eksekutif maupun legislatif baik pusat dan daerah tidak akan memiliki banyak kesempatan untuk bertransaksi mengingat periodesasi pembangunan yang harus dipenuhi tiap tahunnya memaksa mereka untuk berfokus pada upaya menciptakan rekam jejak yang baik untuk pemilihan selanjutnya.

2.      Pilkada serentak akan mengurangi dana pemerintah untuk pembiayaan partai politik. Dengan diadakannya pilkada serentak, maka akan terjadi pengkristalan partai politik, dimana, partai – partai kecil akan bersatu dengan partai besar yang menjadikan partai politik tersebut memilki satu tujuan yang sama. Dengan adanya pilkada serentak, maka partai politik kecil akan terus mendukung partai politik yang besar secara terus menerus dan dimanapun,sehingga tidak adanya pembelotan koalisi partai. Contoh kasusnya adalah, partai Nasdem yang mendukung partai PDIP di pemilihan presiden, sedangkan mendukung partai Golongan Karya untuk pemilihan Kepala Daerah. Sehingga, dengan adanya pilkada serentak, pendukungan partai politik yang kecil akan terarah dan tetap baik nasional maupun daerah. Dari pengkristalan ini, dapat sedikit demi sedikit, akan menjadi suatu koalisi yang permanen yang menyebabkan, lama kelamaan partai – partai kecil yang menjadi koalisi akan hilang, dan tinggal, partai – partai besar, dan masa kejayaan system presidential di Indonesia akan kembali Berjaya. Dengan ini, pendanaan oleh uang  Negara terhadap berbagai partai politik akan semakin berkurang, sehingga uang untuk pendanaan tersebut bisa di alokasikan ke sector lain, contohnya sector pembangunan di bidang infrastruktur dan pendidikan. Sehingga, kita bisa sebutkan, bahwa pilkada serentak merupakan media untuk mewujudkan system presidensial yang murni tanpa campuran parlemen, dan penghematan dana keuangan Negara. Sambil menyelam minum air. Sehingga, kami dari pihak pro, sangat setuju bahwa  dengan diadakannya pilkada serentak, system presidential yang murni akan kembali dan alokasi dana Indonesia akan menjadi lebih baik.

3.      Pilkada serentak akan mengurangi kemungkinan divided government serta memperkuat dan meningkatkan kualitas kinerja Pemerintahan.
Keseimbangan keterwakilan penduduk (DPR) dengan keterwakilan daerah (DPD) untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan territorial, untuk memelihara integrasi nasional dan integrasi wilayah, kepentingan penduduk dan kepentingan wilayah harus diwadahi secara terpisah sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam proses pembuatan keputusan politik secara nasional. Oleh karena itu, DPR dibentuk mewakili kepentingan penduduk sedangkan DPD dibentuk mewakili kepentingan daerah provinsi. Alokasi kursi DPR kepada provinsi dan pembentukan daerah pemilihan dilakukan berdasarkan prinsip  kesetaraan keterwakilan segenap penduduk (equal representation) berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Alokasi kursi DPD kepada provinsi dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22D ayat (2) UUD 1945,








Menurut Badan Pusat Statistik 2010, ada 1.211 bahasa daerah di Indonesia. SensusBPS 2010 menyebutkan, ada 300 kelompok etnis dan 1.340 suku bangsa di Indonesia
Problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika ia dikombinasikan dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi partai dan polarisasi ideologis yang relatif tinggi. Paling kurang ada tiga alasan mengapa kombinasi presidensial-multipartai bermasalah. Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif-legislatif, dan kebuntuan itu berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dua-partai, sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan presidensialisme. Terakhir, kombinasi presidensial dan multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial, sehingga berimplikasi pada rusaknya stabiltas demokrasi
??? Penyempurnaan presidensialisme memerlukan peninjauan kembali format sistem perwakilan, skema penyelenggaraan dan sistem pemilu, serta sistem kepartaian. Dalam konteks pemilu, penataan tak hanya terkait urgensi perubahan sistem pemilu, khususnya sistem pileg, melainkan juga penataan skema penyelenggaraannya ke arah pemilu secara simultan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sehingga menurut kami pilkda serentak tidak akan mewujudkan system presidensial tanpa adanya nuasanya parlemen hal ini disebabkan
1.        Negara Indonesia adalah Negara majemuk
Sistem multipartai merupakan sebuah konteks politik yang sulit dihindari karena Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Secara teoretis, presidensialisme menjadi masalah kalau berkombinasi dengan sistem multipartai. Ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin kentara bila dipadukan dengan sistem multipartai.

Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif-legislatif, dan kebuntuan itu berujung pada instabilitas demokrasi



Setuju menguatkan :
Pemilihan Umum Serentak atau yang disebut dengan “
Concurrent elections ” oleh Benny Geys didefinisikan sebagai sistem pemilu yangmelangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu yang bersamaan.
Geys menyebutkan diantara keuntungan dari Pemilu serentak adalah pengaruhnya terhadap tingkat partisipasi pemilih. Pelaksanaan Pemilu Serentak seperti yang terjadi di Amerika Serikat, misalnya, memperlihatkan bagaimana pemilih akan lebih antuasias dengan Pemilu Senat dan Kongres jika diadakan bersamaan dengan Pilpres. Sebaliknya menurut Andersen, pemilu serentak selain memiliki kuntungan juga memiliki pengaruh negatif terhadap pengetahuan pemilih. Terbatasnya kemampuan “pemilih” dalam memahami siapa yang tepatuntuk menjadi pilihannya, adalah salah satu diantara persoalan penting yang berakibat kepada kecendrungan pemilih kepada keputusan mayoritas.Sistem Pemilu ini selain di pelopori oleh Amerika Serikat, juga banyak diterapkan dinegara-negara dengan Demokrasi yang sudah maju seperti di Eropa Barat. DiAsia Tenggara sendiri, Pemilu Serentak belum terlalu dikenal, namun pelaksanannya dapat dilihat di Filipina. Meskipun sistem Pemilu ini identik dengan negara Demokrasi maju, namun di Amerika Latin, sistem ini cukup populer diterapkan dinegara-negara basis sosialis, seperti Brazil, Bolivia, Peru,dan Venezuela
Tesis Shugart ini ternyata berlaku di Brazil setelah mereka melakukan perubahan jadwal pemilu, yaitu
dengan menyerentakkan waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pasca jatuhnya rezim militer pada 1984 dan jatuhnya presiden terpilih pertama oleh Senat dan DPR, Brazil kemudian mampu menjaga stabilitas politik sekaligus menciptakan pemerintahan efektif sehingga satu dekade kemudian Brazil menjadi raksasa ekonomi dunia.
Mengehemat anggaran Selama ini, honor penyelenggara pemilu merupakan komponen terbesar biaya pemilu, memakan hingga 65 persen dana pemilu. Besarnya honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia sangat banyak, mencapai 500 ribu. Setiap TPS ini ditunggui tujuh orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah anggota KPPS ini sekitar 3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota KPPS dirata-ratakan Rp 300 ribu per orang, maka biaya yang dibutuhkan untuk satu pemilihan, katakan presiden, adalah 1 triliun. Apabila dilaksanakan secara serentak maka dana yang dibutuhkan dapat dihemat hingga 500 miliar/daerah (menurut kompasiana)


oleh: rimaw



Tidak ada komentar:

Posting Komentar