PILKADA SERENTAK UNTUK PENGUATAN
SISTEM PRESIDENSIAL
PRO
Konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur dengan
jelas mengenai kekuasaan pemerintahan negara Indonesia khususnya mengenai
sistem pemerintahannya. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUDNRI) Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden adalah kepala negara dan
sekaligus kepala pemerintahan”, menjadi dasar konstitusional atas claim bahwa
Indonesia menganut sistem Presidensial. Namun bila ditelusuri lebih jauh,
sistem Presidensial yang dipraktekkan di Indonesia memasukkan beberapa nuansa
dari sistem pemerintahan parlementer. Hal tersebut menghasilkan suatu sistem
pemerintahan Presidensial yang kurang sempurna. Nuansa parlementer yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah penguatan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena
kewenangan membuat Undang-undang ada pada DPR hal ini menyebabkan presiden
bertanggung jawab kepada rakyat melalui DPR. Selain itu, adanya koalisi antar
partai politik, membuat cabinet yang disusun berdasarkan adanya koalisi dan
bagi-bagi jabatan, membuat adanya nuansa parlementer dalam sistem pemerintahan
presidensiil semakin terlihat dengan jelas. Pemilu serentak (concurrent
elections) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sistem pemilu yang
melangsungkan beberapa pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. Kami
membatasi arti dari pilkada serentak yang dimaksud adalah pemilu serentak
tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing
provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di
masing-masing provinsi tersebut.
Lalu apakah dengan pilkada serentak yang akan dilaksanakan
di setiap daerah di Indonesia akan menjawab persoalan tersebut?
Iya, kami dari tim pro menyakini bahwa pilkada serentak
merupakan langkah yang tepat untuk mewujudkan system presidensial terutama
didaerah.
Hal ini berdasarkan pada :
1.
Pilkada
serentak akan meminimalisir peran koalisi partai politik untuk pemusatan
kekuasaan.
Adanya system multipartai meyebabkan
Koalisi politik akan menguat dan sulit dihindari. Akibatnya, pembentukan
kabinet pemerintahan yang semestinya menjadi wilayah prerogatif kepala
pemerintahan cenderung tergerus oleh intervensi politik dari partai-partai yang
ikut dalam konstestasi. Padahal, koalisi
itu sesungguhnya ada di dalam sistem parlementer. Kondisi ini pernah terjadi di
Indonesia yang menyebabkan Presiden Yudhoyono tidak leluasa untuk membuat
keputusannya sendiri. Itu dapat dilihat dari kemunculan sekretariat gabungan
(setgab) yang justru menyandera Presiden sebagai ketua setgab.
Dalam
sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun, teori dan praktik sering
kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak
prerogratif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru
masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet.
Dengan adanya pilkada yang diadakan
serentak akan mengurangi kompromi yang terjadi kecenderungan kompromi dapat
ditekan karena diantara para calon yang nantinya terpilih Di lembaga eksekutif maupun
legislatif baik pusat dan daerah tidak akan memiliki banyak kesempatan untuk bertransaksi
mengingat periodesasi pembangunan yang harus dipenuhi tiap tahunnya memaksa
mereka untuk berfokus pada upaya menciptakan rekam jejak yang baik untuk
pemilihan selanjutnya.
2.
Pilkada
serentak akan mengurangi dana pemerintah untuk pembiayaan partai politik.
Dengan diadakannya pilkada serentak, maka akan terjadi pengkristalan partai
politik, dimana, partai – partai kecil akan bersatu dengan partai besar yang
menjadikan partai politik tersebut memilki satu tujuan yang sama. Dengan adanya
pilkada serentak, maka partai politik kecil akan terus mendukung partai politik
yang besar secara terus menerus dan dimanapun,sehingga tidak adanya pembelotan
koalisi partai. Contoh kasusnya adalah, partai Nasdem yang mendukung partai
PDIP di pemilihan presiden, sedangkan mendukung partai Golongan Karya untuk
pemilihan Kepala Daerah. Sehingga, dengan adanya pilkada serentak, pendukungan
partai politik yang kecil akan terarah dan tetap baik nasional maupun daerah.
Dari pengkristalan ini, dapat sedikit demi sedikit, akan menjadi suatu koalisi
yang permanen yang menyebabkan, lama kelamaan partai – partai kecil yang menjadi
koalisi akan hilang, dan tinggal, partai – partai besar, dan masa kejayaan
system presidential di Indonesia akan kembali Berjaya. Dengan ini, pendanaan
oleh uang Negara terhadap berbagai
partai politik akan semakin berkurang, sehingga uang untuk pendanaan tersebut
bisa di alokasikan ke sector lain, contohnya sector pembangunan di bidang
infrastruktur dan pendidikan. Sehingga, kita bisa sebutkan, bahwa pilkada
serentak merupakan media untuk mewujudkan system presidensial yang murni tanpa
campuran parlemen, dan penghematan dana keuangan Negara. Sambil menyelam minum
air. Sehingga, kami dari pihak pro, sangat setuju bahwa dengan diadakannya pilkada serentak, system
presidential yang murni akan kembali dan alokasi dana Indonesia akan menjadi
lebih baik.
3.
Pilkada
serentak akan mengurangi kemungkinan divided government serta memperkuat dan
meningkatkan kualitas kinerja Pemerintahan.
Keseimbangan
keterwakilan penduduk (DPR) dengan keterwakilan daerah (DPD) untuk mewujudkan
keadilan sosial dan keadilan territorial, untuk memelihara integrasi nasional
dan integrasi wilayah, kepentingan penduduk dan kepentingan wilayah harus
diwadahi secara terpisah sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam
proses pembuatan keputusan politik secara nasional. Oleh karena itu, DPR
dibentuk mewakili kepentingan penduduk sedangkan DPD dibentuk mewakili
kepentingan daerah provinsi. Alokasi kursi DPR kepada provinsi dan pembentukan
daerah pemilihan dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan keterwakilan segenap penduduk (equal
representation) berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Alokasi
kursi DPD kepada provinsi dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan daerah
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22D ayat (2) UUD 1945,
Menurut Badan Pusat
Statistik 2010, ada
1.211 bahasa daerah
di Indonesia.
SensusBPS 2010
menyebutkan, ada 300 kelompok etnis dan 1.340 suku bangsa di Indonesia
Problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika
ia dikombinasikan dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi
partai dan polarisasi ideologis yang relatif tinggi. Paling kurang ada tiga
alasan mengapa kombinasi presidensial-multipartai bermasalah. Pertama, sistem presidensial
berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan
eksekutif-legislatif, dan kebuntuan itu berujung pada instabilitas demokrasi.
Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem
dua-partai, sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan
dengan presidensialisme. Terakhir, kombinasi presidensial dan
multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam
demokrasi presidensial, sehingga berimplikasi pada rusaknya stabiltas demokrasi
??? Penyempurnaan presidensialisme memerlukan peninjauan
kembali format sistem perwakilan, skema penyelenggaraan dan sistem pemilu,
serta sistem kepartaian. Dalam konteks pemilu, penataan tak hanya terkait
urgensi perubahan sistem pemilu, khususnya sistem pileg, melainkan juga
penataan skema penyelenggaraannya ke arah pemilu secara simultan antara pemilu
legislatif dan pemilu presiden. Sehingga menurut kami pilkda serentak tidak
akan mewujudkan system presidensial tanpa adanya nuasanya parlemen hal ini
disebabkan
1.
Negara Indonesia adalah Negara majemuk
Sistem multipartai merupakan sebuah
konteks politik yang sulit dihindari karena Indonesia merupakan negara yang
memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat
pluralitas sosial yang kompleks. Secara teoretis, presidensialisme menjadi
masalah kalau berkombinasi dengan sistem multipartai. Ketidakstabilan
pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin kentara bila dipadukan
dengan sistem multipartai.
Pertama,
sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan
akibat kebuntuan eksekutif-legislatif, dan kebuntuan itu berujung pada
instabilitas demokrasi
Setuju menguatkan :
Pemilihan Umum Serentak atau yang
disebut dengan “
Concurrent elections ” oleh Benny Geys didefinisikan sebagai sistem
pemilu yangmelangsungkan beberapa pemilihan
pada satu waktu yang bersamaan.
Geys menyebutkan diantara keuntungan
dari Pemilu serentak adalah pengaruhnya
terhadap tingkat partisipasi pemilih. Pelaksanaan Pemilu Serentak seperti yang
terjadi di Amerika Serikat, misalnya, memperlihatkan bagaimana pemilih akan
lebih antuasias dengan Pemilu Senat dan Kongres jika diadakan bersamaan dengan
Pilpres. Sebaliknya menurut Andersen, pemilu serentak selain memiliki kuntungan
juga memiliki pengaruh negatif terhadap pengetahuan pemilih. Terbatasnya
kemampuan “pemilih” dalam memahami siapa yang tepatuntuk menjadi pilihannya,
adalah salah satu diantara persoalan penting yang berakibat kepada kecendrungan pemilih kepada keputusan mayoritas.Sistem
Pemilu ini selain di pelopori oleh Amerika Serikat, juga banyak diterapkan dinegara-negara
dengan Demokrasi yang sudah maju seperti di Eropa Barat. DiAsia Tenggara sendiri, Pemilu Serentak belum
terlalu dikenal, namun pelaksanannya dapat dilihat di Filipina. Meskipun
sistem Pemilu ini identik dengan negara Demokrasi maju, namun di Amerika Latin,
sistem ini cukup populer diterapkan dinegara-negara basis sosialis, seperti
Brazil, Bolivia, Peru,dan Venezuela
Tesis Shugart ini
ternyata berlaku di Brazil setelah mereka melakukan perubahan jadwal pemilu,
yaitu
dengan menyerentakkan
waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif. Inilah
yang menjadi salah satu faktor mengapa pasca jatuhnya rezim militer pada 1984
dan jatuhnya presiden terpilih pertama oleh Senat dan DPR, Brazil kemudian
mampu menjaga stabilitas politik sekaligus menciptakan pemerintahan efektif
sehingga satu dekade kemudian Brazil menjadi raksasa ekonomi dunia.
Mengehemat anggaran Selama ini, honor penyelenggara pemilu merupakan
komponen terbesar biaya pemilu, memakan hingga 65 persen dana pemilu. Besarnya
honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia sangat
banyak, mencapai 500 ribu. Setiap TPS ini ditunggui tujuh orang petugas
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah
anggota KPPS ini sekitar 3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota KPPS
dirata-ratakan Rp 300 ribu per orang, maka biaya yang dibutuhkan untuk satu
pemilihan, katakan presiden, adalah 1 triliun. Apabila dilaksanakan secara
serentak maka dana yang dibutuhkan dapat dihemat hingga 500 miliar/daerah
(menurut kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar